Pak Taufiq, anda sudah menonton film Perempuan Berkalung Sorban ?
Saya sudah nonton PBS.
Bagaimana kesan Pak Taufiq ?
Belum pernah selama saya ini menonton film, berapa puluh tahun lamanya, berapa ratus judul banyaknya, kalau dihitung-hitung sejak masa kanak-kanak dulu, berapa ya, sejak 63, 64 tahun lebih yang silam, belum pernah saya merasa dihina dan dilecehkan seperti sesudah menonton film Hanung ini.
Lho, kok sampai begitu, ya Pak ? Dihina ?
Ya ! Di dalam film itu, semua pesantren dan semua Kiyai jelek. Situasi pesantren kumuh, Kiyai-kiyai dengan keluarga digambarkan buruk. Kelakuan tak terpuji. Terasa fikiran utama yang mendasari pembuat film ini adalah spirit mencari cacat, membuka noda, memberi tahu penonton, ini lho yang reyot-reyot, yang sakit-sakit, yang pincang-pincang dari ummat Islam, tontonlah. Begitu.
Apakah ini film pertama yang Pak Taufiq tonton, yang terkesan menghina Islam ?
Tentu saja bukan yang pertama. Banyak film yang melecehkan ummat Islam, langsung tidak langsung, kentara dan tidak kentara. Tapi film-film itu dibuat di negeri lain, oleh orang-orang bukan Islam, dan memang dengan niat culas. Nah, PBS ini dibuat di dalam negeri, oleh sutradara bangsa sendiri. Ternyata niatnya sama juga. Culas.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa niatnya culas ?
Kalau niat Hanung baik, misalkan terhadap yang buruk-buruk itu dia mau mengeritik secara konstruktif, maka dia akan berikan perbandingan pesantren yang rapi indah, tidak kumuh dan dia tonjolkan tokoh Kiyai yang berwibawa, yang memancarkan sinar seperti lambang Muhammadiyah. Itu tak dilakukannya.
Pak Taufiq, bagaimana jalan cerita film Perempuan Berkalung Sorban itu, yang novel aslinya ditulis Abidah El Khaliqy ?
Wah, saya tidak mau jadi petugas humas Hanung itu, menjelas-jelaskan jalan cerita filmnya untuk pembaca. Buat apa? Itu bukan kerja saya. Anda sebagai wartawan, tuliskan sendiri ringkasan ceritanya. Itu tugas anda. Mengingatnya saja sudah muak saya.
Sudah sedemikian tidak nyamannya perasaan Pak Taufiq ?
Bukan saja tak nyaman. Muak. Mual. Anak muda ini mau menunjukkan dirinya kreatif, super-liberal, berfikiran luas, tapi dengan mendedahkan kekurangan-kekurangan dan cacat-cela ummat, yang dilakukannya dengan senang hati. Bahkan mengarang-ngarang hal yang tidak ada.
Misalnya bagaimana ?
Misalnya diada-adakannya adegan rajam. Di pesantren tidak ada hukuman rajam terhadap pelaku zina seperti fantasi dalam kepala Hanung itu. Kemudian tokoh Nyai, isteri Kiyai lewat dialog memberi komentar tentang hal itu dengan mengutip Injil tentang Maria Magdalena. Apa hubungannya itu? Kenapa harus diambil dari khazanah Kristen? Pengambilan khazanah Kristen bisa saja, tapi baru masuk akal kalau sebelumnya ada pendahuluan reasoning, ada pemaparan logikanya. Ini tidak ada. Mendadak saja, ujug-ujug, kata orang Pekalongan. Kentara betul Hanung mau tampak hebat, memperagakan luas horison pandangannya. Sok betul. Sombong.
Apakah di novel aslinya ada adegan rajam itu ?
Mboten wonten, Mas. Tidak ada. Di sini terjadi improvisasi sutradara. Dan ini improvisasi yang kurang ajar. Maaf keras betul kalimat saya. Maaf. Di bagian ini Hanung tidak minta permisi pada novelis Abidah El Khaliqy, tidak amit-amit. Dia main terjang saja. Dia tidak kenal etik.
Apakah penambahan jalan cerita atau improvisasi harus izin novelisnya ?
Tidak harus begitu. Tergantung bentuk kontrak juga. Tapi sebagai sesama seniman dalam kreasi karya bersama begini, paling tidak harus ada diskusi. Diskusi tersebut dalam hal ini tidak ada.
Tidak ada ? Bagaimana Pak Taufiq tahu ?
Saya pernah tanya Abidah. Mereka pernah ada diskusi tentang esensi cerita, mengenai feminisme, tentang kehidupan pesantren, tetapi mengenai rajam tidak ada. Lalu…
Lalu bagaimana, Pak Taufiq ?
Lalu dia tabrak saja, jebret, bikin adegan rajam. Lantas fantasi dusta berikutnya yang menyolok adalah adegan pembakaran buku di pesantren itu. Di novel Abidah tak ada adegan pembakaran buku. Abidah lebih logis dan tidak sok seperti Hanung.
Seingat saya pembakaran buku pengarang-pengarang anti komunis dilakukan PKI dan ormas-ormasnya di tahun 1964 atau 1965, betul Pak ?
Betul sekali. Nah, di pesantren itu, di kelompok santri, ada diskusi buku. Dibicarakan tentang pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili, tapi tetap kreatif, tetap menulis buku. Yang dimaksud adalah Pramudya Ananta Tur. Diperlihatkan kulit buku novel Bumi Manusia, yang dilemparkan ke dalam unggun. Adegan ini dibikin-bikin, dan bodoh betul.
Maksudnya ?
Pertama, adegan ini dalam novel tak ada. Jadi ini keluar dari otak Hanung sendiri, tanpa permisi novelisnya. Kedua, kalau dia betul-betul anak Muhammadiyah, maka pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili 2,5 tahun, tapi tetap kreatif, menulis buku, maka pengarang itu adalah Buya Hamka. Bukan Pramudya. Yang wajib disebut adalah Buya Hamka. Hanung ini, yang mengaku-ngaku anak Muhammadiyah, ternyata buta sejarah perjuangan tokoh besar Muhammadiyah ini. Karya luar biasa Buya Hamka tersebut adalah Tafsir Al Qur’an Al-Azhar, yang dirampungkannya dalam tahanan, selesai 30 juz, dikagumi seluruh dunia Islam.
Kalau begitu Hanung keliru besar, menokohkan Pram dalam hal ini ?
Sangat keliru ! Tapi memang pada dasarnya dia kekiri-kirian, mode anak muda zaman kini, tidak sadar mengangkat diri sendiri jadi agen muda Palu Arit. Lagi-lagi Hanung rabun sastra: Pramudya tahun 50-an 60-an dalam karya-karyanya sinis terhadap orang sholat, benci kepada haji. Tokoh-tokoh haji dalam novel-novelnya buruk semua: mindring, kaya, bakhil, membungakan uang. Tapi di luar ini semua, menjelang meninggalnya, tanda-tanda menunjukkan Pramudya khusnul khatimah. Alhamdulillah. Mudah-mudahanlah Pram beroleh hidayah. Allah berbuat sekehendak-Nya.
Kembali kepada rasa tidak nyaman Pak Taufiq tadi…
Lebih dari tidak nyaman. Muak. Mual.
Silakan kalimat penutup, Pak.
Saya merasa dihina dan dilecehkan oleh film Perempuan Berkalung Sorban, disutradarai Hanung Bramantyo, yang menistakan lembaga pesantren dan tokoh Kyai, waratsatul anbiya, berlindung di balik topeng kebebasan kreasi dengan sejumlah improvisasi yang bodoh dalam semangat super-liberal. Para aktivis seni Marxis-Leninis-Stalinis-Maois saja di tahun 50-an 60-an tidak ada yang bisa membuat film pelecehan pesantren dan Kiyai seperti yang dilakukan Hanung di abad 21 ini. Kalau dia sudah beredar lima dasawarsa yang lalu, maka Hanung Bramantyo bagus diusulkan mendapat Bintang Joseph Stalin atau Anugerah Dipa Nusantara Aidit.***
Komentar Penulis
Dari wawancara diatas Film Hanung, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) menuai kontroversi dimana-mana, karena lebih bermuatan kepada nuansa liberal dan pendiskreditan kehidupan pesantren daripada syiar Islam sendiri. Di film PBS ini pun Hanung banyak melakukan penyimpangan dari novel aslinya, bahkan penyimpangan sejarah (Taufiq Ismail).
Kalau filmnya yang lain saya kurang tau. Ada satu filmnya Lentera Merah. Itu juga saya lebih mengenalnya sebagai film horror ketimbang film komunis. Komunis? Saya belum pernah nonton, jadi ga bisa komentar banyak soal film ini. Tapi dari hasil blog-walking tadi, film ini kental bernuansa komunis. Googling aja deh. Panjang ntar dibahas disini.
Di filmnya kali ini, bercerita mengenai biografi hidup KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah. Awal-awalnya sudah mulai berpikir, “ada perubahan dengan film Pak Hanung.” Namun semakin ke tengah semakin banyak pula yang mengganjal. TIDAK SEMUA, tapi ADA.
Di Bagian Boedi Oetomo. Menurut saya, film ini “terlalu baik” mencitrakan Boedi Oetomo kalau mengingat-ngingat sepak terjang Boedi Oetomo di era yang lampau. Saya tidak berlebihan. Kalau filmnya tentang freemasonry ya ndak apa-apa dicitrakan baik, wajar. Nah, masalahnya ini di film biografi KH. Ahmad Dahlan, salah satu pionir organisasi dakwah di Indonesia. Boedi Oetomo tidak lain tidak bukan adalah organisasi yang sangat membenci Islam dan pernah menghina Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Bahkan dalam bukunya, API SEJARAH 2, Prof. Ahmad Mansur Surya Negara mengatakan, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang keputusan menetapkan hari lahir Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Penghinaan pertama organisasi ini pada Rasulullah saw tercatat pada tanggal 9 dan 11 Januari 1918 M melalui media mereka, Djawi Hisworo. Kemudian pada Majalah Swara Oemom 18 Juni 1930 yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Melalui artikel yang ditulis oleh Homo Soem, mereka melancarkan aksi anti haji dan anti Islam. Dan seterusnya (di tulisan saya berikutnya, insyaAllah, akan dibahas, panjang sih).
Inget bagian setelah KH. Ahmad Dahlan naik haji? Ada scene-scene yang bertuliskan “Allah meliputi udara, Allah meliputi air…….” (cuma itu tulisan yang saya ingat, kalo ga’ salah satu lagi “pasir”). Intinya Allah meliputi makhluk-Nya. Setau saya itu merupakan ajaran Wihdatul Wujud, atau orang Jawa bilang Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu penyatuan makhluk dengan Tuhan-nya. Paham ini dulu dibawa oleh Syekh Siti Jenar.
Ini malah jadi mengingatkan saya pada Dr. Soetomo, tokoh Pendiri Boedi Oetomo, bukan pada KH. Ahmad Dahlan. Kepada K.H. Mas Mansoer, Dr. Soetomo mengaku, bahwa segenap Alam raya merupakan penjelmaan dari Tuhan dan manusia sebagai penjelmaan Tuhan paling akhir. Oleh karena itu, manusia sebagai penjelmaan Tuhan tidak perlu melakukan shalat seperti yang diajarkan Rasulullah saw.
Lalu mengenai kontroversi pemeran-pemerannya. Saya sendiri hanya tau, tapi tidak mendalam mengenai latar belakang Lukman Sardi (pemeran KH. Ahmad Dahlan dalan film ini). Berita yang beredar ada dua buah, pertama ada yang bilang dia sudah keluar dari Islam, alias murtad, dan kedua ada juga yang mengatakan dia masih Islam, cuma Istrinya yang non-Muslim. Keduanya tetap saja tidak patut dicontoh. Terlepas dari mana yang benar (Mudah-mudahan beliau masih tetap seorang Muslim), sudah selayaknya film yang akan dikonsumsi masyarakat, apalagi film yang katanya bergenre RELIGI, diperankan oleh orang-orang yang bisa dijadikan panutan.
Coba deh Anda yang jadi sutradara film ini, pasti kriteria yang Anda pilihpun tidak jauh-jauh dari karakter tokoh aslinya. Karena film ini membawa sejarah hidup orang lain, seorang tokoh dari dunia ISLAM.
Para artis ini adalah publik figur. Suka atau tidak, mau tidak mau, paham tidak paham, ga’ sedikit masyarakat (pemuda) yang akan menjadikan mereka panutan. Jadi sudah selayaknya seorang sutradara yang bijak memilih seorang dengan karakter yang baik untuk filmnya, bukan sekedar alasan komersil. Menurut anda sendiri, kalau Anda yang berada diposisi Didi Petet dan Deddy Mizwar, siapa yang akan Anda pilih jadi pemeran Ana Althafunnisa, Julia Perez atau Oki Setiana Dewi? (lagi) menurut Anda, apa mungkin Mira Lesmana dan Riri Reza akan memakai lagi Ariel Peter Pan sebagai pemeran Arai di film Edensor (kalo-kalo di-filem-in)? Kalo iya, komentar saya Cuma, “WEW!”
Lalu, anda inget pasti kan scene komplotan penganut kejawen saat ingin membakar Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan, mereka berteriak, “Allahuakbar! Allahuakbar!!” disepanjang jalan. Menurut anda seperti mencitrakan sesuatu tidak? (yah, pencitraan lagi). Yah, wajar lagi dong. Film kan alat propaganda juga, salah satu alat mengkritik, menyampaikan. Apa yang disampaikan oleh Film pasti terkait dengan pemahaman SIAPA yang membuatnya.
Di zaman sekarang, hal tersebut adalah teriakan semangat khas aktivis-aktivis Islam saat mereka melakukan aksi, aktivis dari organisasi Islam manapun. Saya bilang teriakan khas ya, bukan berarti hanya milik kelompok tertentu. Soalnya belum pernah saya dengar anak-anak marxis teriak-teriak Allahuakbar 😀 .
Lantas? Ya menurut saya aneh saja kalau itu keluar dari mulut-mulut penganut kejawen anarkis yang mau membakar tempat pengajian. Kalau “bakar! Bakar!!!” itu saya percaya. Hemat saya, scene ini karangan Pak Hanung only, sama seperti ketika dia mengarang adegan rajam di film PBS, padahal di era itu, rajam di pesantren tidak ada. (sekarang ada ya?). Teriakan Allahuakbar dan semangat Jihad seperti ini pertama kali dipopulerkan oleh Bung Tomo (10 November 1945), sebelum zamannya KH. Ahmad Dahlan.
Itu saja yang saya tangkap. Kekurangan nya ditambahkan, kalo kelebihan ya dikoreksi. Oya, yang saya sampaikan adalah apa yang saya pahami dan yakini, walaupun hanya berupa tulisan kecil. sama seperti Pak Hanung, pasti dia menyampaikan sesuatu lewat film ini sesuai dengan apa yang dia yakini.
Saran gratis saya, sebelum nonton film ini, ada baiknya kita membaca dahulu perjalanan hidup KH. Ahmad Dahlan dari buku sejarah. Tapi jangan versi sejarah pemerintah. Banyak tanda bintang nya 🙂
September 25, 2010 pukul 4:42 pm
Terima kasih ulasannya, sy juga penah nonton fil PBS dan isinya memang seperti yg dibilang pak Taufik, Film terbarunya ‘Sang Pencerah’ belum nonton.
September 25, 2010 pukul 4:44 pm
Semoga saja film2 bernuansa Islam kedepannya bisa lebih baik lagi, bukan hanya komersil & tidak menjebak, tidak seperti mengagungkan Islam padahal ada sesuatu dibelakangnya.
Salam kena!
September 26, 2010 pukul 4:06 am
Saya belum nonton ke 2 film tsb, tetapi setahu saya ketua Muhammadiyah nonton film Sang Pencerah sampai 6x kebetulan mendampingi tokoh2 negeri ini yg diundang tapi beliau tidak mengeluarkan kritik ttg karya Hanung ini bahkan mengusulkan untuk Hanung membuat film Sang Pencerah yang ke 2.
April 8, 2011 pukul 11:49 am
simak juga film terbarunya hanung
semakin keliatan JIL nya ni hanung ck ckc ck
Juni 22, 2015 pukul 7:46 am
Ternyata kecurigaan tersebut terbukti. Lukman Sardi “KH Ahmad Dahlan Sang Pencerah” telah murtad secara resmi di awal Ramadhan 1436 H/ 2015 M. Dan dengan bangga disiarkan di Youtube … Sekalian izin share mas ya, kebetulan saya sedang menulis tentang pentingnya Kristologi, Jazakillah …